Pohon itu berada di puncak bukit. Penduduk setempat menyebutnya bukit cinta. Tak ada yang bisa menjelaskan alasan bukit itu disebut bukit cinta. Dibutuhkan waktu 20 menit untuk mendaki bukit itu. Jalan menuju bukit merupakan punggungan yang kanan-kirinya jurang. Dibutuhkan konsentrasi lebih agar bisa sampai ke atas bukit.
Sampainya di lokasi, kami langsung mencari lokasi terdekat dengan pohon yang biasa digunakan sepasang elang Jawa itu bertengger. Pohon itu oleh masyarakat setempat dinamakan pohon benda. Ada dua dahan tak berdaun yang biasa digunakan untuk bertengger.
Agar tak membuat takut elang Jawa, kami membuat lokasi mengintip dengan kamuflase. Kami membuat semacam gua yang dibangun dari semak dan rerumputan. Semua serba tertutup, hampir tak terlihat dari luar. Bahkan, pencari rumput yang melintas pun tak tahu ada tiga manusia di dalam semak itu.
Tiga buah lubang kami buat dari sela-sela semak. Lubang ini digunakan sebagai tempat lensa kamera mengunci obyek foto. Satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda burung yang dijadikan lambang negara itu, burung Garuda, muncul. Mendung agak mengganggu. Elang Jawa biasanya muncul saat matahari bersinar.
Pada jam kedua, semut di dalam gua mulai terusik. Mereka menggigit apa saja yang dirasa mengganggu sarang mereka. Sesekali, ulat bulu terlihat melintas dengan muka tanpa dosa. Tak mau kalah, lebah madu mendengung mengisap sari bunga. Tiga jam berlalu, tak ada tanda-tanda elang Jawa muncul. Jarak antara gua kamuflase dan pohon tempat elang bertengger sekitar 10 meter. Di posisi ini, kami yakin bisa mendapatkan gambar muka elang yang cukup gagah itu.
Kaki mulai kram. Perut mulai mengeluarkan bunyi »krucuk-krucuk”. Rasa gatal dari ilalang pun mulai terasa. Perasaan bosan juga mulai melanda. »Kita harus bertahan,” kata Timur Sumardiyanto, Koordinator Banyumas Biodiversity, Banyumas. »Biasanya jam segini, elang mulai keluar,” kata Hariyawan Agung Wahyudi, Advisor Board Raptor Indonesia. Dia sesekali mencoba meluruskan kaki yang mulai kesemutan.
Tepat pada pukul 12.00, kami memutuskan keluar dari tempat persembunyian. Elang Jawa yang ditunggu tak muncul juga. Tiba-tiba, dari arah belakang persembunyian, kami melihat sepasang sikep madu Asia dan seekor elang alap Cina. Dua burung jenis raptor yang merupakan burung migran. Sikep madu berasal dari Jepang dan daerah Siberia. Adapun elang alap berasal dari Cina.
Mereka mengikuti angin dan menghindari musim dingin dengan melakukan perjalanan ribuan kilometer menuju Indonesia, yang suhunya lebih hangat. Biasanya, tempat persinggahan terakhir mereka adalah Nusa Tenggara Timur. »Gunung Slamet dan Sungai Serayu merupakan salah satu tempat favorit burung migran ini,” kata Timur.
Pada bulan-bulan ini, kata dia, puluhan ribu burung migran mulai terlihat di angkasa Banyumas. Saat ini mereka sedang singgah atau roosting di sejumlah tempat di Banyumas. »Kedatangan mereka sebenarnya sudah dimulai sejak awal Oktober, biasanya mereka tinggal hingga Maret,” ujarnya.
Timur mengatakan Banyumas merupakan salah satu tempat persinggahan burung migran dari belahan bumi bagian utara. Saat ini, belahan bumi bagian utara sedang memasuki musim dingin sehingga burung bermigrasi ke wilayah bumi bagian selatan, termasuk Indonesia.
Sumber : Yahoo News
0 comments:
Post a Comment